Pos Bantuan Hukum ala Pengadilan Agama

0 komentar
Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) akan menghimbau anggotanya yang berjumlah sekitar 700 orang untuk berperan aktif dalam pos bantuan hukum di Pengadilan Agama

Upaya Mahkamah Agung (MA) untuk memberikan akses keadilan kepada masyarakat terus berlangsung. Baru-baru ini, Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa menerbitkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama, Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara di seluruh Indonesia.

Khusus untuk Pengadilan Agama (PA) beleid ini sudah lama ditunggu-tunggu kehadirannya. Pasalnya, berdasarkan sebuah penelitian pada 2007, masyarakat miskin menghadapi hambatan utama dalam masalah keuangan untuk mengakses Pengadilan Agama yang berkaitan dengan biaya perkara dan ongkos transportasi untuk datang ke Pengadilan Agama.

Penelitian ini direspon dengan menerapkan perkara prodeo dan sidang keliling di sejumlah daerah. Namun, permasalahan baru timbul karena banyak masyarakat yang berperkara sama sekali buta hukum. Hal inilah yang menjadi alasan MA untuk menerbitkan pedoman teknis bantuan hukum di PA. MA pun ‘merapikan’ bagaimana pembentukan dan alur kerja Pos Bantuan Hukum di PA.

Pasal 18 ayat (1) Pedoman Bantuan Hukum di PA ini menyebutkan pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum adalah advokat, sarjana hukum dan sarjana syariah. Jenis jasa yang diberikan berupa pemberian informasi, konsultasi, advis, dan pembuatan surat gugatan atau permohonan.

Uniknya, dua pihak yang berperkara, penggugat dan tergugat, masing-masing bisa meminta bantuan hukum di Posbakum tersebut. Namun, pemberian jasa bantuan hukum bagi keduanya tak boleh diberikan oleh satu orang pemberi bantuan hukum yang sama. Tentu saja tidak mungkin seorang advokat bertindak atas nama penggugat dan tergugat sekaligus. 

Dirjen Badan Peradilan Agama (Badilag) Wahyu Widiana, dalam wawancaranya denganhukumonline beberapa waktu lalu, mengatakan ada kemungkinan dalam satu Pengadilan Agama dibentuk lebih dari satu Posbakum. Alasannya untuk menghindari agar penggugat dan tergugat tak diwakili oleh satu orang yang sama.

Dalam Pedoman itu juga disebutkan pemberi jasa yang bertugas di Posbakum ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama melalui kerja sama kelembagaan dengan organisasi profesi advokat, organisasi bantuan hukum dari unsur Perguruan Tinggi, dan organisasi bantuan hukum dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Siapkan Advokat
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Nurkhoirin menyambut baik SEMA ini. Ia mengatakan meski perkara-perkara di pengadilan agama masuk ke dalam ranah perdata tetapi masyarakat tetap membutuhkan bantuan hukum. “Masih banyak masyarakat yang belum memahami hak-haknya ketika berperkara di Pengadilan Agama,” ujarnya melalui sambungan telepon, Kamis (17/9).

Nurkhoirin mengatakan APSI akan segera menyurati anggotanya yang berjumlah sekitar 700 orang untuk menyukseskan program bantuan hukum di Pengadilan Agama ini. “Kami sudah menyiapkan anggota-anggota kami,” tuturnya. Meski begitu, ia mengatakan tugas bantuan hukum di PA ini bukan eksklusif milik para anggota APSI. Ia berharap asosiasi advokat lain juga ikut berpartisipasi, meski tanggung jawab anggota APSI lebih besar karena mereka yang lebih mengetahui hukum acara di PA.

Lebih lanjut, Nurkhoirin akan segera berkoordinasi dengan PA untuk pembentukan Pos Bantuan Hukum yang akan melibatkan anggotanya. “Kami akan berkomunikasi langsung dengan pihak Pengadilan Agama,” tuturnya. Ia juga mengatakan tak perlu berkoordinasi dengan organisasi advokat karena masih adanya ‘perpecahan’ antara Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Sebagai catatan, APSI –bersama tujuh asosiasi profesi advokat yang lain- awalnya ikut membidani terbentuknya Peradi pada 21 Desember 2004. Lalu, dalam perkembangannya, pengurus APSI beserta tiga asosiasi advokat lain membentuk ‘tandingan’ Peradi, Kongres Advokat Indonesia (KAI). Namun, Nurkhoirin enggan menyebutkan secara tegas dimana posisi APSI saat ini. “Anggota APSI ada yang menjadi anggota Peradi, tapi ada juga yang jadi anggota KAI,” ucapnya diplomatis.

(Baca Selengkapnya)

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H

0 komentar
Dewan Pengurus Wilayah
ASOSIASI PENGACARA SYARIAH INDONESIA (APSI) DKI JAKARTA

Mengucapkan:

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 
1 SYAWAL 1431 HIJRIYAH 

MOHON MAAF LAHIR & BATHIN


Jakarta, 08 September 2010

t.t.d.


Irfan Fahmi Yati Andriyani
Ketua  Sekretaris
(Baca Selengkapnya)

Fiqh Jinayah Bisa Memperkaya KUHP

0 komentar
Tidak perlu dipertentangkan dengan hukum pidana warisan Belanda. Keduanya bisa dipadukan karena memiliki sejumlah kesesuaian.
Kejam dan tidak manusiawi. Begitulah kesan sebagian masyarakat kita terhadap hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah). Tiap mendengar pidana Islam, yang terbayang biasanya hukuman potong tangan dan rajam.

Prof. Amin Suma, anggota Tim revisi KUHP, menyayangkan kesan yang keliru itu. Hukum pidana Islam tidak hanya berisi hukuman atau uqubat. Hukum pidana Islam adalah sebuah sistem yang saling terkait, ujarnya dalam sarasehan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah (HISSI) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pekan lalu.


KUHP atau wetboek van strafrecht merupakan kitab hukum warisan kolonial Belanda. Kitab ini ditetapkan dengan UU No. 1 Tahun 1946 dan dinyatakan berlaku berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958.

Draf revisi KUHP hanya terdiri dari Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana. Keseluruhan terdapat 41 bab dengan 737 pasal. Draf revisi ini tidak lagi membedakan tindak pinda kejahatan dan pelanggaran.

Dalam makalah berjudul Pembaharuan Hukum Pidana Materiil Indonesia, Ketua Tim Revisi KUHP Prof. Muladi menyatakan, revisi ini tidak hanya dimaksudkan sebagai upaya dekolonialisasi, tapi juga rekodifikasi. Sejumlah peraturan perundang-undangan pidana yang berdiri sendiri disatukan di KUHP. Selain itu, dilakukan pula harmonisasi KUHP dengan perkembangan hukum pidana internasional.

Revisi KUHP kini dilakukan secara sistemik dengan menyerap filosofi dan kultur yang ada di masyarakat. Dengan begitu, menurut Prof. Amin, hukum Islam yang telah berkembang di tanah air bisa diadopsi pula ke dalam KUHP.

Jika menengok sejarah, hukum pidana Islam sudah pernah diberlakukan oleh beberapa kerajaan Islam di Jawa pada abad ke-16. Buktinya waktu itu ditemukan banyak orang yang tangannya buntung karena dihukum potong tangan, kata Prof. Amin. Hanya, pada masa kolonialisme, hukum pidana Islam nyaris tidak pernah diterapkan.

Sejatinya, hukum pidana dengan Fiqh Jinayah ini memiliki banyak kesesuaian. Tidak perlu dipertentangkan, tandas Prof. Amin. Ia memberi contoh asas legalitas. Hukum pidana menegaskan, seseorang tidak bisa dihukum jika tidak ada aturan yang melarang perbuatan orang itu. Fiqh Jinayah juga punya asas demikian. Prinsipnya, seluruh perbuatan pada dasarnya boleh dilakukan, kecuali jika ada peraturan yang melarangnya.

Salah satu konsep pertanggungjawaban pidana dalam Fiqh Jinayah yang bisa diadopsi KUHP adalah lembaga pemaafan. Seorang terdakwa bisa saja terbebas dari sanksi pidana jika ia dimaafkan oleh korban atau keluarga korban.

Menurut Prof. Amin, lembaga pemaafan ini bisa diefektifkan untuk mengurangi jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas). Bukan rahasia umum, kondisi lapas di negeri ini sudah overquote. Bukannya efektif menjadi lembaga rehabilitasi, lapas justru menjadi locus delicti bagi terjadinya tindak pidana, seperti tindak pidana narkotika. Belum lagi, negara harus menanggung biaya yang besar untuk menjamin kelangsungan hidup para narapidana.

Rupanya, draf revisi KUHP mulai memasukkan konsep itu. Meski tak sama persis, asas judicial pardon yang ada draf revisi KUHP memungkinkan seorang terdakwa mendapat ampunan dari majelis hakim. Namun, kewenangan hakim untuk memberi maaf diimbangi dengan asas culpa in causa yang memberi kewenangan hakim untuk tetap mengganjar terdakwa walaupun ada alasan penghapus pidana.

Hal lain dari Fiqh Jinayah yang bisa diadopsi ke dalam KUHP adalah konsep diyat. Ini berbeda dengan konsep denda dalam hukum pidana, kata Prof Amin. Diyat adalah pembayaran dalam jumlah tertentu yang harus diberikan terdakwa kepada korban atau keluarganya. Sedangkan denda harus diberikan kepada negara.

Dari beberapa segi, konsep diyat ini dinilai lebih pas memulihkan hak-hak korban tindak pidana. Kalau yang dirugikan adalah korban, kenapa justru negara yang menerima denda dari terdakwa? jelas Prof. Amin.

JM Muslimin, Ketua Assosiasi Dosen Syariah Indonesia, menyatakan, membumikan hukum pidana Islam bukanlah pekerjaan yang gampang. Dibutuhkan peran negara karena berkaitan dengan hukum publik. Ini berbeda dengan penerapan hukum perdata Islam.

Mesir, misalnya, sejak 1940-an menegaskan dalam konstitusinya bahwa satu-satunya sistem hukum yang dipakai di Negara Piramida itu adalah hukum Islam. Namun faktanya tak seluruh hukum Islam diterapkan di sana. Yang diberlakukan secara menyeluruh hanya hukum perdata Islam. Sementara hukum publiknya tetap mengacu kepada hukum warisan Perancis.

Sumber: Hukum Online
(Baca Selengkapnya)

Advokat Menegakan Hukum Sambil Menambang Dollar

0 komentar
Profesi advokat termasuk salah satu profesi yang paling diidam-idamkan para sarjana hukum. Mereka tentu tergiur dengan tampilan para pengacara papan atas yang sering berpakaian high class dan mobil mewah keluaran terbaru. Di beberapa negara, misalnya di Amerika Serikat, advokat memang merupakan salah satu profesi yang berpenghasilan besar ketimbang profesi-profesi yang lain.

Di Indonesia, gaji advokat yang berkantor di kantor hukum papan atas juga tergolong mewah. M. Arie Armand, partner di DNC Lawfirm, mengatakan para advokat yang berkantor di bilangan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, ini digaji dengan mata uang dolar Amerika Serikat. Penggajian dilakukan berdasarkan jenjang karier.


Bila ada seorang fresh graduate yang dinyatakan lulus, maka ia harus menjalani pelatihan selama tiga bulan. Meski hanya menjalani training, si ‘calon advokat’ tak perlu khawatir soal kocek. Sebab, DNC memberi uang saku sekitar AS$500 tiap bulannya. Padahal, dalam masa ini, si ‘calon advokat’ belum benar-benar bekerja karena hanya diwajibkan mengikuti pelatihan yang diberikan oleh dosen, praktisi hukum maupun lawyer yang lebih senior.

Selepas masa training, calon advokat harus menjalani on job training selama sembilan bulan. Mereka yang lulus proses tahap ini akan diangkat menjadi junior associate dengan bayaran sekitar AS$800. Dua sampai tiga tahun kemudian statusnya meningkat menjadi associate dengan gaji antara AS$1500-1800.

Setelah lima sampai enam tahun, status advokat akan menjadi senior associate dengan gaji sekitar AS$2000 per bulan. Jenjang terakhir adalah partner yang tiap bulannya bisa membawa AS$3000-4000. “Tapi soal besaran ini bisa relatif. Kalau pendapatan sedang besar, maka (gaji) bisa lebih besar lagi,” ungkap Arie kepada hukumonline, Selasa (7/9).

Soal lingkup kerja, secara umum Arie menjelaskan dunia per-advokat-an dibagi dua. Yakni,litigation lawyer dan corporate lawyer (non-litigasi). Advokat litigasi biasanya yang bersidang di ruang pengadilan, sedangkan corporate lawyer lebih sering memberi konsultasi dalam lapangan hukum bisnis kepada perusahaan. “Dari segi profesi sebenarnya tidak ada perbedaan. Karena keduanya sama-sama memberi legal service,” tuturnya.

Namun, ketika melihat keahlian yang dibutuhkan, baru terlihat perbedaan antara dua jenis advokat itu. Advokat litigasi diharapkan sosok yang lebih agresif. Sedangkan, corporate lawyer harus lebih sistematis atau cenderung by the book. “Dan yang lebih penting lagi seorang corporate lawyer harus punya sense of bussiness,” kata pria yang memperoleh gelar sarjana dari Universitas Padjadjaran ini.

Dalam praktek, banyak para mahasiswa atau sarjana hukkum kerap berpandangan bila ingin meraup penghasilan besar maka mereka harus menjadi corporate lawyer. Namun, pandangan ini dibantah oleh Arie. Menurutnya, jika seorang fresh graduate fakultas hukum langsung berorientasi untuk mendapatkan materi dalam jumlah besar, maka ia harus terjun ke dunia litigasi. “Bukan sebagai corporate lawyer,” tegasnya.

Pasalnya, lanjut Arie, advokat bisa langsung mendapat penghasilan besar bila mendapat perkara litigasi yang kelas kakap. Sedangkan, pilihan menjadi corporate lawyer adalah investasi jangka panjang. “Kalau dari segi pendapatan, corporate lawyer lebih fix. Jika ia sudah punya rekam jejak yang bagus, maka sangat mungkin tarifnya naik berlipat-lipat nantinya,” tambahnya.

Beda kantor hukum papan atas, beda lagi yang masuk kategori lawfirm papan tengah. David ML Tobing, Managing Partner di Adams & Co Counsellors-at-Law, mengatakan persoalan gaji advokat hampir selalu menjadi masalah di kantor hukum yang sedang berkembang. Jika ada tawaran yang lebih menarik, advokat biasanya langsung pindah. “Hambatan kantor pengacara itu adalah kutu loncat,” ungkapnya.

Namun, David menyadari pemilik firma hukum memang tak bisa berbuat banyak terhadap persoalan ini. Karena pindah kerja adalah hak setiap advokat. Ia mengatakan gaji advokat biasanya berdasarkan range tertentu. Namun, soal angka biasanya kantor hukum cenderung merahasiakan.

Di Adams & Co, lanjut David, penanganan perkara menggunakan prinsip berbagi ilmu. Artinya, perkara dibahas bersama antara partner, senior lawyer, junior lawyer dan paralegal. Hal ini tentu dimungkinkan karena jumlah advokat di kantor hukum yang telah berdiri selama 11 tahun ini tidak terlalu banyak. Kantor hukum ini memiliki 14 orang advokat. Dua diantaranya partner, sedangkan delapan sudah memiliki izin advokat.

David mengatakan di kantor hukumnya juga memiliki jenjang karier. Dimulai dari paralegal yang berstatus magang. Jika sudah mendapatkan izin advokat, mereka bisa menjadi junior lawyer. Namun, tidak ada kriteria baku yang bisa cepat mengantarkan junior menjadi senior lawyer. “Ukurannya ditentukan berdasarkan kualitas yang bersangkutan menangani kasus,” tuturnya.

Senior lawyer biasanya adalah advokat yang sudah diberikan wewenang untuk meng-handle dokumen, seperti menyusun gugatan, membuat legal opinion, atau menyusun dokumen-dokumen lain. Untuk menjadi senior lawyer biasanya seseorang sudah berpengalaman lebih dari tiga tahun.

Tak semua lawfirm menerapkan sistem jenjang karier. Di Suhaimi Imran & Partners Law Office, semua advokat berada dalam posisi yang setara. Sebab, advokat di kantor hukum ini hanya empat orang. “Kantor hukum kami memang masih kecil, mas,” ujar Managing Partner, Suhaimi Imran.

Proses penggajian pun tak diberikan per bulan. “Penggajian diberikan berdasarkan persentase dan marketing fee,” ujarnya. Persentase dihitung berdasarkan pemasukan yang diperoleh kantor hukum, lalu membaginya ke para advokat. Sedangkan, marketing fee adalah biaya yang diberikan kepada advokat yang berhasil menarik klien untuk kantor hukum tersebut.

Suhaimi mengatakan marketing fee memang jamak dipraktekan oleh kantor-kantor hukum. “Di kantor kami, marketing fee itu sebesar 20 persen. Sedangkan di kantor hukum lain, ada yang 10 persen atau 30 persen,” tambahnya.

Lebih lanjut, Suhaimi menjelaskan letak kantor hukumnya yang berada di ruko di bilangan Pasar Minggu tak terlalu berpengaruh untuk menarik klien. Ia mengaku biaya untuk menyewa di daerah-daerah strategis, seperti Jalan Sudirman, memang cukup mahal. “Tapi, disana biasanya cuma menang gengsi saja,” pungkasnya.

Sumber: Hukum Online.
(Baca Selengkapnya)

Pengacara Perlu Kuasai Drafting Akad Syariah

0 komentar
Ekonomi syariah merupakan lahan yang belum banyak digarap pengacara. BI perlu menggandeng PERADI.

Meski ekonomi syariah terus berkembang, para pengacara ternyata belum memiliki pemahaman yang bagus mengenai akad atau kontrak syariah. Sebab, akad syariah dalam banyak hal berbeda dengan akad konvensional.

Hal itu ditandaskan Sekjen Ikatan Ahli Ekomomi Syariah, Agustianto. Pengacara masih jarang yang memahami teknik pembuatan kontrak syariah, terutama dalam perbankan. Mereka rata-rata masih bingung. Apalagi ada kombinasi-kombinasi akad, kata Agustianto di Jakarta, Jumat (6/7).

Tak bisa dipungkiri, ekonomi syariah memang 'barang' yang relatif baru di Indonesia. Namun, pelan tapi pasti, berbagai akad syariah bermunculan. Kalau merujuk pada fatwa DSN-MUI, akad syariah kini mencapai 61. Sebagian di antaranya sudah dibakukan Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Bagi pengacara dan praktisi hukum, beragamnya akad syariah itu menjadi lahan baru yang menggiurkan. Apalagi, lahan baru itu belum digarap secara optimal. Agustianto menyarankan agar para pengacara membekali diri dengan pengetahuan soal pembuatan akad syariah agar bisa memanfaatkan peluang itu. Pada dasarnya, akad syariah sama dengan akad konvensional. Yang membedakan misalnya tidak boleh ada gharar (penipuan) atau maysir (perjudian). Selain itu yang pasti adalah jenis-jenis akad itu sendiri, ungkap Agustianto.

Anehnya, kata Agustianto, para pengacara di Jakarta tertinggal selangkah dari pengacara di sejumlah daerah. Pelatihan mengenai pembuatan akad syariah sudah digelar oleh sejumlah perguruan tinggi di daerah. Di Jakarta yang merupakan pusat berkembangnya ekonomi syariah malah belum pernah ada pelatihan, ujarnya.

Untuk tahap awal, saran Agustianto, para pengacara perlu memahami teknik membuat draf akad yang sudah dikenal masyarakat seperti mudharabah, musyarakah, salam, ijarah, atau hiwalah. Untuk akad lain yang merupakan pengembangan atau kombinasi, bisa dipelajari belakangan.

===========

BAB III
SYARAT-SYARAT UMUM AKAD

Bagian 1
Unsur-unsur Akad
Untuk melaksanakan akad harus ada:
a. pihak-pihak yang berakad (al-Aqidaen);
b. obyek akad (al-Ma'quud 'alaih atau mahal al-Aqd).
c. tujuan-pokok akad (Maudlu al-Aqdi).
d. bentuk akad (shighat al-Aqdi).

Bagian 2
Obyek Akad
Obyek akad adalah benda atau manfaat benda yang memiliki nilai ekonomis dalam kehidupan manusia.

Bagian 3
Tujuan Pokok Akad
Tujuan-pokok akad adalah:
a. Kepemilikan harta dan atau manfaat.
b. Kerjasama dalam memiliki harta dan atau manfaat.
c. Pemberian kekuasaan dalam memiliki harta dan atau manfaat
d. Pemeliharaan atau titipan harta dan atau manfaat.

Bagian 4
Bentuk Akad
Hukum akad terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
a. akad yang sah,
b. akad yang fasad,
c. akad yang batal,

BAB IV
HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI AKAD
Hal-hal yang mempengaruhi kehendak untuk melakukan akad adalah:

a. Pemaksaan,
b. Penipuan,
c. Keraguan pada pihak-pihak yang berakad,
d. Ketidakmampuan dalam akad

Sumber: Draft Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
==========

BI perlu gandeng PERADI
Pakar ekonomi syariah, Adiwarman Karim, berharap BI mau mensosialisasikan teknik membuat draft akad syariah. Beberapa kali BI bersama MUI pernah menggelar pelatihan untuk para notaris yang tergabung dalam Ikatan Notaris Indonesia. Tapi dengan pengacara belum pernah, ujarnya.

Sejatinya, menurut Adiwarman, sosialisasi pembuatan akad syariah merupakan program BI. Ke depan, ia berharap BI lebih aktif. Semestinya BI bekerja sama dengan PERADI untuk menggelar pelatihan drafting akad syariah, kata President Director Karim Business Consulting ini.

Untuk membuat draf akad syariah, sebenarnya para pengacara bisa merujuk pada Peraturan BI No. 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Meski tak semua akad tercakup di situ, Adiwarman menilai Peraturan BI tersebut bisa diandalkan.


Sumber: hukumonline.com (Baca Selengkapnya)
 

DPW APSI Jakarta. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com